Bagian IV
Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan
pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan
mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui
relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia.
Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk
menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7
Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh
Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 2 September 1921.
Dalam
bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam
kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat
Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat
Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan
golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad
Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari
Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang
telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab
baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah
juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum
ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan
tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi: “Muhammadiyah
berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang.
Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari
pada Qur’an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis.
Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui
kitab-kitab tafsir”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar